Ketika kita membentak anak karena kesal, kadang kita merasa itu perlu agar anak "belajar." Tapi faktanya, membentak bisa memberi dampak psikologis yang mirip seperti hukuman fisik—anak merasa takut, cemas, dan bisa tumbuh jadi pribadi yang mudah tersulut.
Sama seperti luka fisik, luka emosional butuh pengakuan dan pemulihan. Sayangnya, luka batin ini sering kali tidak terlihat dan baru disadari saat kita dewasa. Itulah yang disebut dengan inner-child trauma.
Apa Itu Inner Child Trauma?
Inner child trauma adalah luka emosional yang terbentuk di masa kecil dan tidak terselesaikan. Ia muncul saat anak tidak merasa aman, didengar, atau dimengerti. Dampaknya bisa terasa saat dewasa dalam bentuk:
-
Ketidakstabilan emosi
-
Pola pikir negatif
-
Sulit menjalin hubungan yang sehat
-
Perasaan tidak cukup berharga
Menurut buku The Body Keeps the Score, trauma masa kecil bahkan bisa tersimpan dalam sistem saraf dan memengaruhi respons otomatis terhadap stres di masa depan.
Pola Asuh yang Tanpa Sadar Bisa Memicu Trauma
Sebagai orang tua, kita tentu ingin yang terbaik. Tapi kadang, niat baik bisa tersalurkan dengan cara yang salah, misalnya:
-
Meremehkan perasaan anak: "Gitu aja nangis?"
-
Membandingkan anak dengan saudara atau teman
-
Terlalu otoriter dan menuntut kepatuhan
-
Terlalu protektif, sehingga anak tumbuh dengan rasa takut
Pola-pola ini, jika berulang, bisa membuat anak merasa tidak cukup baik atau tidak layak untuk dicintai apa adanya.
Tanda-Tanda Anak Mengalami Trauma Emosional
Tidak semua trauma langsung terlihat. Tapi berikut beberapa tanda yang patut diwaspadai:
-
Anak jadi mudah marah atau menarik diri
-
Mimpi buruk atau gangguan tidur
-
Reaksi berlebihan terhadap hal kecil
-
Takut berpisah dari orang tua
-
Sulit konsentrasi atau terlihat gelisah terus-menerus
Jika kamu melihat tanda-tanda ini, langkah pertama adalah hadir sebagai tempat aman bagi anak.
Gimana Menghadapi Konflik Tanpa Harus Membentak?
1. Ambil jeda
Saat emosi naik, berhenti sejenak dan tarik napas. Ini bukan untuk menahan amarah, tapi memberi ruang bagi diri sendiri dan anak untuk kembali tenang.
2. Gunakan suara yang tenang dan kontak mata
Nada lembut dan tatapan mata menunjukkan bahwa kita hadir dan menghargai mereka. Anak justru lebih terbuka ketika merasa aman.
3. Validasi perasaannya
Ucapkan, “Mama tahu kamu kesal,” tanpa menghakimi. Baru setelah itu arahkan atau beri batasan. Validasi ini penting agar anak belajar mengelola emosinya dengan sehat.
“Anak tidak belajar dari suara yang meninggi, tapi dari hati yang memahami”
Bisakah Trauma Masa Kecil Hilang Sendiri?
Sayangnya, tidak selalu. Trauma yang dalam dan berulang biasanya tidak hilang tanpa dukungan yang tepat.
Jika dibiarkan, ia bisa muncul sebagai kecemasan, depresi, atau pola hubungan yang tidak sehat di masa depan.
Menurut National Child Traumatic Stress Network, dukungan emosional dari orang dewasa dan pendekatan empatik sejak dini sangat membantu proses pemulihan.
Cara Membantu Anak Mengatasi Trauma
Beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan:
-
Bangun rasa aman dengan kehadiran yang konsisten
-
Validasi dan dengarkan tanpa buru-buru memperbaiki
-
Gunakan bermain atau aktivitas kreatif untuk membantu anak mengekspresikan emosi
-
Jika perlu, konsultasikan dengan profesional seperti psikolog anak, terutama jika trauma cukup berat
Jadi, Harus Mulai dari Mana?
Menjadi orang tua yang sadar adalah langkah pertama. Kita tidak harus sempurna, tapi harus mau belajar dan berubah.
Anak yang merasa didengar dan dipahami akan tumbuh menjadi pribadi yang tahu cara menyembuhkan dirinya sendiri—dan kelak, bisa menyembuhkan orang lain.
Yuk, rawat inner child kita sambil merawat anak dengan penuh kasih. Karena healing itu menular—dan semuanya berawal dari rumah. 💛
Jika kamu ingin tahu lebih banyak tentang topik seputar parenting, kesehatan mental, dan gaya hidup sehat, stay connected dengan kami dengan gabung ke Lemicare Mom Community sekarang juga! 💬 bit.ly/LemiMomCommunity atau lewat Instagram @lemicare.id.